Disebut Jokowi, Begini Kondisi Loyonya Komoditas SDA RI...
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap komoditas sumber daya alam (SDA) sekali lagi menjadi perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).Dalam Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jokowi menegaskan bahwa era kejayaan komoditas harus segera diakhiri.
"Sekali lagi, pentingnya sumber daya manusia bagi sebuah pembangunan. Oleh sebab itu, setelah 5 tahun setelah fokus pada infrastruktur, 5 tahun ke depan fokus pada SDM. Kejayaan minyak dan kayu sudah selesai, kejayaan komoditi SDA sudah hampir selesai, fondasi kita ke depan percayalah SDM kita yang berkualitas," ujar Jokowi.
Apakah SDA Indonesia Sudah Mulai Habis?
Berdasarkan data dari Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi migas tanah air memang sedang berada dalam tren penurunan.
Pada tahun 2018, produksi minyak mentah Indonesia tercatat sebesar 772 ribu barel/hari atau turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 801 ribu barel/hari. Sementara produksi gas di tahun yang sama juga hanya sebesar 1.113 MBOEPD turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 1.137 MBOEPD.
Hal itu disebabkan kondisi sumur-sumur migas RI yang sudah tua. Semakin lama dieksploitasi, tingkat produksi biasanya memang akan menurun.
Tanpa adanya penemuan cadangan migas baru, SKK Migas memperkirakan tren penurunan produksi akan terus berlanjut setidaknya hingga 2050.
![]() |
Adapun berdasarkan data dari Purnomo Yusgiantoro Center (YPC) mengungkapkan bahwa cadangan terbukti energi fosil di Indonesia akan akan habis dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Ada tiga komoditas utama energi fosil yang disebut oleh YPC, yaitu minyak bumi, gas bumi, dan batu bara.
Bila terus diproduksi dengan asumsi konstan setiap tahun, maka cadangan terbukti minyak dan gas bumi akan habis dalam masing-masing 11,2 dan 35 tahun. Sementara batu bara akan habis dalam 31 tahun.
![]() |
Pada akhirnya, sumber daya alam yang tak berkelanjutan memang akan habis.
Bahkan khusus untuk minyak bumi, nyatanya cadangan Indonesia sangat kecil. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut bahwa cadangan minyak bumi Indonesia tidak sampai 0,02% dari total cadangan minyak dunia.
Fakta-fakta tersebut memang sudah seharusnya membuat pemerintah menyadari bahwa ketergantungan Indonesia pada barang mentah harus segera dikurangi.
Gonjang-Ganjing Ekspor
Sebagai informasi, komoditas barang mentah saat ini masih menjadi andalan ekspor Indonesia. Badan Pusat statistik mencatat dua komoditas ekspor utama Indonesia sepanjang tahun 2018 adalah batu bara dan lemak nabati (sebagian besar sawit) yang nilainya masing-masing US$ 20 miliar dan US$ 18 miliar. Sementara ekspor migas menempati urutan ketiga dengan nilai sebesar US$ 17,4 miliar di tahun yang sama.
Bahayanya, harga komoditas mentah tersebut sangat fluktuatif karena hampir tidak ada keunggulan kompetitif. Hanya ada keunggulan komparatif.
Dan itulah yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Harga batu bara anjlok, sementara harga minyak sangat fluktuatif. Sepanjang tahun berjalan 2019, harga batu bara acuan Newcastle telah terkoreksi lebih dari 20%. Harga minyak Brent saat ini juga sudah kembali berada di bawah level US$ 60/barel.
Akibat pergerakan harga komoditas yang cenderung melemah, kinerja ekspor bulanan Indonesia boleh dibilang mengecewakan. Dalam delapan bulan berturut-turut hingga Juni 2019, nilai ekspor RI selalu terkontraksi secara tahunan (year-on-year/YoY).
Berbeda dengan Vietnam yang dalam lima bulan terakhir hingga Juli 2019 selalu mencetak pertumbuhan ekspor. Itu bisa dilakukan karena komoditas ekspor utama Vietnam, bahkan lebih dari separuh, adalah barang-barang mesin (kode HS 85).
Maka dari itu, Jokowi sejatinya sudah sadar bahwa kunci utama pembangunan adalah sumber daya manusia (SDM).
Dengan menghasilkan SDM yang berdaya saing tinggi, tenaga kerja Indonesia dapat mendorong kemajuan industri manufaktur yang saat ini sedang tidak dalam kondisi prima.
Sudah sejak tahun 2012 pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor manufaktur selalu berada di bawah total pertumbuhan ekonomi. Bahkan ada kecenderungan selisih (spread) antara keduanya semakin melebar.
Terakhir, sepanjang semester I-2019 selisih antara pertumbuhan manufaktur dan total ekonomi Indonesia mencapai 1,36% dan merupakan yang terbesar setidaknya sejak tahun 2012.
Hal itu menandakan bahwa masyarakat Indonesia semakin gemar menjual barang mentah ketimbang mengolah menjadi barang jadi. Jika kondisi ini terus berlanjut, perekonomian RI akan terus rentan terhadap gejolak eksternal.
Apa iya mau terus begitu?
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/gus)
No comments:
Post a Comment