Waspada! 'Hantu' CAD akan 'Gentayangan' Hari Ini

Kemarin (8/9/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 1,14% ke level 6.6274,67, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 0,07% ke posisi Rp 14.205/US$, sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor acuan 10 tahun turun 10,1 basis poin menjadi 7,45%.
Perlu diingat bahwa pergerakan harga dan yield di pasar obligasi akan berbanding terbalik. Saat yield turun, maka menandakan harga sedang terangkat karena banyak peminat. Berlaku pula sebaliknya.
Penguatan di bursa saham dalam negeri juga sejalan dengan performa mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga anteng di zona hijau. Indeks Shanghai menguat 0,93%, indeks Hang Seng menguat 0,48%, indeks Kospi naik 0,57%, dan indeks Nikkei naik 0,37%.
Hanya bursa saham Singapura, saja yang dirundung mendung, dengan pelemahan indeks Straits Times sebesar 0,45%. Penyebabnya, angka penjualan ritel yang mengalami kontraksi sebesar 8,9% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih besar di atas prediksi konsensus pasar sebesar 0,2%, mengutip Trading Economics.
Sentimen positif eksternal bisa dibilang cukup banyak kemarin.
Meski masih dibayangi perang dagang AS-China yang meluas ke perang mata uang, ternyata masih ada harapan atas perbaikan hubungan kedua negara.
Dalam wawancara dengan CNBC International hari Rabu (7/8/2019), Penasihat Gedung Putih, Larry Kudlow, mengatakan bahwa Trump masih mau untuk melanjutkan dialog dagang. Dia juga menyebut pihaknya masih menantikan kedatangan delegasi China ke Washington pada September nanti.
Walaupun hingga penutupan perdagangan, China masih belum memberi respons atas 'undangan' Kudlow, setidaknya kedua negara sedang berhenti cekcok. Harapan kesepakatan dagang juga masih ada. Kabar baik juga datang dari Negeri Tirai Bambu, kali ini tidak terkait langsung perang dagang.
Pada bulan Juli 2019, ekspor China tumbuh 3,3% YoY. Jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi alias turun 1,3%. Angka 3,3% juga lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu kontraksi 2%.
Impor juga hanya turun 5,6% YoY yang mana lebih kecil konsensus yang sebesar 8,3%. Alhasil, neraca dagang China pada Juli membukukan surplus sebesar US$ 45 miliar yang juga lebih besar dibanding konsensus sebesar US$ 40 miliar.
Kinerja perdagangan yang membaik menandakan ekonomi China masih tetap bergairah. Meskipun masih tak bisa mengelak dari perlambatan ekonomi, ada peluang besar China tidak mengalami hard landing.
Selain itu, pasar keuangan di Benua Kuning juga masih mendapat angin segar dari penurunan suku bunga acuan bank sentral di sejumlah negara.
Rabu (7/8/2019), Bank Sentral India (Reserve Bank of India/RBI) menurunkan suku bunga acuan 35 bps ke 5,4%. Lebih dalam ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu penurunan 25 bps.
Kemudian Bank Sentral Thailand (BoT) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1,5%. Ini di luar ekspektasi, karena pelaku pasar memperkirakan suku bunga dipertahankan di 1,75%. Penurunan ini menjadi yang pertama sejak 2015.
Bank Sentral Selandia Baru (Reserve Bank of New Zealand/RBNZ) secara mengejutkan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) rekor terendah 1%. Pelaku pasar sebelumnya memprediksi RBNZ hanya akan memangkas 25 bps.
Terbaru, pada Kamis (8/8/2019) Bank Sentral Filipina (Banko Sentral ng Pilipinas/BSP) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4,25%, sesuai ekspektasi pasar.
Rangkaian aksi penurunan suku bunga, terutama di kawasan Asia dan negara berkembang membuat investor semakin yakin bahwa dampak perang dagang dan perlambatan ekonomi global tidak akan separah yang sebelumnya diperkirakan.
Pasalnya kebijakan pelonggaran moneter dapat menjadi instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi.
Setidaknya jika terjadi hal mengerikan di AS, Asia bisa bertahan.
Namun sayang, ada sentimen negatif dari dalam negeri yang sedikit membatasi penguatan asar modal Indonesia.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> (taa/taa)
No comments:
Post a Comment